Rabu, 07 April 2010

cerpen

KENANGAN YANG TERSEMBUNYI

Angin semilir membelai dedaunan yang basah. Para hewan ternak sudah sejak tadi berlindung di kandang. Bintang menghiasi cerahnya langit. Bulan dengan riangnya menyinari bumi. Setelah hujan turun cukup deras sore tadi, malam pun merambat turun hingga ke meja makan. Suasana makan malam yang amat tenang. Suasana yang menurutku cukup menyiksaku. Seperti biasa, setelah acara makan malam selesai, maka aku harus bersiap mendengarkan nasehat-nasehat mama yang memaksa.

“Citra, bagaimana dengan kuliahmu? Baik-baik saja kan ?” Mama memulai aksinya malam itu.

“Baik ma, sebentar lagi Citra mulai skripsi.”

“Baguslah kalau begitu. Oh ya, kamu masih pacaran sama Rangga?” Citra, kakak perempuanku hanya mengangguk. “Mama minta sebelum kamu lulus kuliah, kamu tidak usah pacaran dulu. Bukan apa-apa, mama hanya ingin kamu konsen dulu ke kuliah. Ini mama lakukan karena mama ingin kamu sukses.”

“Iya ma, Citra akan menjauh dulu dari Rangga. Tapi setelah lulus kuliah nanti tentu boleh kan Cintra pacaran lagi dengan Rangga? Bukankah Rangga itu calon suami Citra?”

Selalu saja seperti itu.Kak Citra adalah tipe orang yang penurut. Mungkin itu yang dapat dijadikan alasan mengapa ia menjadi anak kesayangan mama. Walaupun pada kenyataannya seringkali berbeda dengan apa yang ia katakan. Sedangkan Keyla, adik perempuanku yang tomboy, adalah kebalikan dari Kak Citra. Dia tentu saja tidak suka diatur-atur seperti itu. Hampir setiap kali berbicara dengan Keyla, mama selalu saja naik darah. Sedangkan aku, anak kedua di keluarga ini lebih sering membungkam mulutku. Mungkin sikapku ini sedikit membingungkan mama. Tapi kemudian mama berkesimpulan aku menurut. Walau pada kenyataannya belum tentu.

Mama adalah orang yang menurutku over protective. Kami bertiga harus selalu mengikuti apa kata mama. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus begini, harus begitu. Bagi mama pendidikan tinggi adalah segala-galanya. Kami hampir tak pernah mengobrol. Setiap kali aku mendekati mama untuk sekedar mendengar cerita masa lalunya, mama selalu berkata “Sudah belajar?”. Jika sudah seperti itu, maka aku harus segera kembali ke kamar. Setelah pembicaraan yang lama dan panjang itu, akhirnya kami bertiga bisa kembali ke kamar setelah cukup penat untuk mendengarkan omongan mama.

Siang yang membosankan. Kusandarkan tubuhku di kursi dekat pintu garasi sambil melepas sepatuku. Aku melihat messy, kucing angora milik Kak Citra sedang tidur dengan pulasnya di sofa depan televisi. Aku berniat ingin mengagetkannya, ketika kudengar suara mama berbicara di telepon. Kelihatannya serius sekali, hingga ku urungkan niatku untuk menggoda messy karena aku tidak mau membuat masalah. Mama tidak suka suara ribut-ribut. Apalagi ketika mama terlihat sangat serius berbicara seperti itu.

Lalu kulangkahkan kakiku ke kamar, bersiap-siap menyambut aktifitas rutinku setiap siang. Tiduran di atas kasur, melihat langit-langit kamar, sambil membiarkan anganku melayang tinggi. Ketika itu aku bisa berbincang-bincang dangan imajinasiku, aku sering menyebutnya….suara malaikat. Namun tiba-tiba saja aku mendengar mama berteriak. Lalu aku langsung berlari menuju ruang tengah. Dan aku menemukan mama tergeletak di lantai, dengan ganggang telepon yang tergantung begitu saja.

Suasana rumah menjadi begitu ramai. Dengan bahasa isyarat mama berkata padaku “Pakai jilbabmu!”. Lalu aku beranjak masuk ke kamar untuk mengambil jilbab. Beberapa orang ada yang mengikutiku sekedar untuk mengawasi karena mereka merasa kawatir atau mungkin iba. Setelah memakai jilbab tiba-tiba ada yang memelukku erat sekali. Dengan air mata yang mengalir Tante Dina menasehatiku untuk sabar dan tabah atas apa yang terjadi. Sementara yang lain menangis sampai tersedu-sedu, aku hanya bisa diam. Entah mengapa kepergian papa untuk selama-lamanya tak menyisakan duka lara di hatiku.

Kemarin mama menerima telepon dari rumah sakit bahwa papa mengalami kecelakaan. Papa langsung meninggal setelah mobilnya menabrak sebuah truk yang ugal-ugalan. Duka yang kurasa hanya mampu ku endapkan di dasar hatiku. Bahkan setetes air mata pun tak keluar dari mataku. Padahal kalau boleh dikata, aku adalah anak kesayangan papa. Karena hanya akulah yang selama ini bisa membantu papa untuk mengusir penat di hatinya. Sebagai direktur utama PT BUMN, mungkin papa merasa seperti robot yang setiap saat harus mencurahkan perhatian dan pikirannya untuk bekerja.

Mungkin dengan kepergian papa, papa bisa merasa lebih bebas. Malahan aku sempat membayangkan papa tersenyum bahagia karena ia akan segera memulai sesuatu yang baru di alam yang lain.Tapi bukan berarti aku tidak sedih, tentu saja aku sedih sedih. Hanya saja aku merasa ini akan menjadi lebih baik dari sebelumnya untuk siapapun. Mama mungkin menangis karena harus membesarkan ketiga putrinya seorang diri, hanya dengan mengandalkan asuransi dari kantor dan bisnis kontrakan papa.

Kak Citra mungkin menangis karena pernikahannya dengan Rangga yang pada awalnya akan dilangsungkan di gedung kelas A, catering terbaik di kota , dengan jajaran tamu sekelas presiden atau menteri, akhirnya harus dibatalkan. Ia harus rela pernikahannya dilangsungkan dengan konsep yang sederhana. Keyla mungkin menangis karena ia harus menjadi anak yatim. Atau mungkin karena impiannya untuk membentuk sebuah band harus tersendat. Sebenarnya mudah saja bagi Keyla untuk membentuk sebuah band asalkan ia mendapat ijin dari mama.Tapi itu pasti sulit sekali.

Sementara aku, aku adalah anak yang paling dekat dengan papa.Menurutku papa adalah sosok figur yang sangat pendiam, atau mungkin penutup. Entahlah, dia tak pernah bercerita tentang dirinya pada siapa pun, kecuali kepadaku. Aku ingat sekali papa pernah bercerita bahwa dulu, saat muda ia adalah orang yang suka berimajinasi. Namun setelah menikah dengan mama, dan tuntutan kerja yang begitu memaksa, maka kebiasaan itu lenyap dengan sendirinya. Saat aku dilahirkan, papa sangat yakin bahwa kepribadianku kelak tak akan jauh berbeda dari dirinya. Dan itulah yang menjadi alasan mengapa papa memberiku nama….Kelana. Tak hanya sifat, Dari ketiga anak papa, hanya akulah yang wajahnya mirip dengan papa. Mulai dari mata, hidung, semuanya mirip papa.

Setelah semuanya siap, maka sajad papa yang terbujur kaku akan segera dibawa ke pemakaman. Masih dengan bahasa isyarat, mama menyuruhku untuk ikut ke pemakaman. Dengan beberapa mobil, aku beserta keluarga besarku dibawa ke pemakaman. Di pemakaman, anggota keluargaku tak henti-hentinya menangis. Mama bersandar lemah di pelukan Tante Dina. Sementara Kak Citra berpelukan dengan Keyla, juga dengan air mata yang terus mengalir. Aku hanya mampu berkata dalam hati “Pa, Papa akan segera masuk ke dunia yang baru. Dan saat itu tiba, papa tak akan lagi diperlakukan seperti robot yang harus mengerjakan ini dan itu. Mungkin ini adalah pintu untuk papa, agar papa bisa masuk ke dalam dunia kebebasan”. Jenazah almarhum papa segera di istirahatkan.

Lalu tiba-tiba aku melihat sosok itu. Seorang wanita yang memakai jilbab dan gamis berwarna hijau. Ia bersandar di bawah pohon palem. Tangannya memegang tas kecil dan ia gunakan untuk menutupi bagian perutnya yang terlihat membuncit. Dan wajah itu, aku seperti pernah melihatnya. Aku merasa sudah sangat mengenalnya. Tapi siapa dia? Atau aku hanya mengalami dejavu saja? Apa dia teman papa di kantor? Tapi bukankah aneh, bila ada seorang wanita yang tengah mengandung pergi ke sebuah pemakaman tanpa ditemani suami atau kerabat? Dan raut wajah itu, sungguh terlihat sangat sedih. Walau setetes air mata pun tak tampak, namun seakan duka batin yang ia rasa sangat berat. Melebihi duka mama yang sedari tadi menangis. Dan yang pasti lebih sedih dari siapapun yang ada di pemakaman itu.

Atau mungkin dia itu malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untuk menjemput roh papa?

“Bi Minah, Bibi lihat perempuan yang pakai gamis hijau itu?” Tanyaku pada bibiku yang sudah duapuluh tahun bekerja di tempatku.

“Yang mana non?”

“Itu, yang di bawah pohon palem.” Kataku sambil menunjuk ke arahnya.

“Oh, itu. Iya neng. Kenapa?”

“Bibi kenal dengan orang itu? Mungkin teman papa atau….siapa ya bi?”

“Wah, Bibi nggak kenal tu non?”

Begitulah, tak ada yang mengenalnya. Bahkan dia pun tak berusaha mengenalkan diri pada kami. Bukankah jika dia teman papa maka seharusnya dia menemui kami? Lalu mengucapkan bela sungkawa atas kepergian papa? Tapi dia tidak melakukannya. Hingga kini dia masih menjadi sebuah misteri.

Malam menunjukkan keheningannya. Dengan mata yang belum tertutup, aku berbaring di atas kasur sambil mecoret-coret selembar kertas. Tak satu pun huruf atau gambar tercipta di kertas itu. Yang ada hanya garis-garis yang tak jelas. Kembali kuambil secarik kertas kosong. Lalu aku mulai mencoret-coret kertas itu sambil membiarkan imajinasiku terbang menembus langit-langit kamar. Kulihat kertasku kembali, betapa kagetnya aku setelah melihat apa yang aku gambar. Dalam kertas kosong tadi, kini sudah tergambar dengan jelas sketsa perempuan itu. Perempuan bergamis hijau dengan raut wajah yang begitu lara. Dalam hati aku mulai memarahinya. Siapa kamu?! Lancang sekali berani masuk dalam duniaku! Kulihat sketsa itu begitu lama. Lalu kuremas kertas itu, dan kubuang keluar jendela.

Kemudian kulangkahkan kakiku menuju kamar mama. Kamar yang sangat jarang kumasuki. Perlahan kubuka pintu kamar, dan kuliha mama tengah duduk di atas kasurnya. Di depannya berserakan foto-foto kenangan papa dan mama saat masih muda dulu. Mungkin mama sedang bernostalgia dengan angannya. Melihatku masuk ke dalam kamarnya, segera mama membereskan foto-foto itu.

“Sudah kau kerjakan PRmu?”

“Sedang Lana kerjakan ma.”

“Kalau begitu teruskan.” Kata mama dengan tangan terus bekerja membereskan foto-foto dan menumpuknya di sebuah kardus. Dengan hati-hati aku duduk di atas kasur mama tanpa menggeser sprainya yang selalu bersih dan harum.

“Aku hanya ingin menemani mama. Apakah tidak boleh?”

“Foto-foto terdahulu tidak akan terlihat bila diletakkan di bawah, maka mama meletakkan foto-foto itu di atas agar mudah melihatnya.”

”Bukankah ini karena mama sedang mengenang masa-masa dimana papa masih ada dulu?” Seketika aktifitas mama terhenti. Dia memandangku dengan lembut. Dan inilah, tatapan yang selama ini aku idam-idamkan. Yang selalu kurindukan. Mata mama mulai berkaca-kaca. Namun tak lama kemudian air mata itu mengalir dengan sangat deras. Tangan mama menarik tubuhku masuk ke dalam peluknya.

“Lana, kamu selalu mengingatkan mama akan papa. Wajahmu, sikap diammu, seolah kau ini adalah pantulan cermin dari papa.”

Lagi-lagi aku tak bisa menangis. Aku hanya mampu memendamnya jauh di dasar hatiku. Dan malam itupun berlangsung dengan cerita kenangan masa muda antara mama dan papa. Aku sangat senang mendengarnya, kisah mereka berdua. Bukan karena kisahnya, tapi karena pada akhirnya aku bisa mengakrabkan diri dengan mama. Melihat senyum dan tawa mama yang selama ini ia lakukan penuh dengan kepalsuan. Mama, akhirnya aku bisa kembali melihat kepribadian mama yang sesungguhnya.

Siang yang mendung, dengan langit berhias awan kelabu. Sepulang sekolah aku menyempatkan diri menabur bunga di makam papa. Mobil berhenti di depan area pemakaman. Pak Karso, sopir pribadi keluargaku, kupersilakan untuk menunggu di mobil saja. Dan dengan tangan menjijing wadah berisi bunga, kumasuki area pemakaman. Mataku langsung tertuju ke makam dimana jasad papa diistirahatkan. Mataku spontan mebelalak atas apa yang kulihat. Wanita itu lagi! Sedang apa dia di sini? Caranya menatap seakan mampu mengubah tanah yang ada di depannya menjadi sosok papa. Aku merasa cemburu, karena ia sedemikian merasa lara atas kepergian papa.

Perutnya terlihat semakin membesar. Agaknya tinggal dua atau tiga bulan lagi ia akan segera memiliki seorang anak. Kutuntun kakiku kembali ke dalam mobil.

“Kok nggak jadi non? Kenapa?”

“Pak Karso liat perempuan yang ada di makam papa itu? Pak Karso tahu siapa dia?” Seketika wajah Pak Karso pucat. Seakan takut sesuatu yang selama ini ia rahasiakan akan terbongkar. Kuminta ia jujur kepadaku apa ia ketahui tentang wanita itu.

“Jadi wanita itu bernama Evi? Dan dia adalah istri muda papa?!” Tanyaku pada Pak Karso tak percaya.

Dari matanya aku tahu Pak Karso tidak berbohong. Kulihat wanita itu keluar dari area pemakaman. Kuminta Pak Karso mengikutinya, hingga ke rumahnya. Rumah itu sangat sederhana. Namun mampu membuat siapa saja yang datang merasa nyaman.

“Tante jahat!!!!” Bentakku setelah wanita itu membukakan pintu rumahnya. Aku heran, tante Evi sama sekali tidak tidak kaget atas kedatanganku. Padahal dia tahu siapa aku. Dia bahkan tahu semua anggota keluargaku. Air mata langsung mengalir dengan derasnya dari pelupuk mataku hingga aku sesenggukan.

“Kamu pasti Lana. Ayo masuk dulu.” Entah mengapa aku tak berusaha memberontak saat ia memapahku masuk ke dalam dan mendudukanku di sofa. Padahal aku sangat membencinya. Lalu dia hanya memandangku yang sedari tadi menangis.

“Mengapa Tante diam saja?! Apa yang Tante lakukan?! Tante ingin menghancurkan keluargaku?!” Kembali aku sesenggukan.

“Aku menunggumu tenang.” Katanya. Setelah tangisku reda dia mulai berbicara lagi. “Kamu memang mirip papamu. Buktinya, dari ketiga bersaudara hanya kamu yang dapat menemukan rumah ini. Pernikahan tante dengan papamu memang kesalahan besar. Namun tante tak mau itu semua menjadi sia-sia. Dan sampai saat ini status tante masih istri dari papamu. Tak ada yang bisa memungkirinya. Dan tante rasa papamu butuh ketenangan. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa papamu datang pada tante.

Mataku menyapu ruangan itu. Kulihat foto pernikahan papa denga tante Evi. Terlihat begitu mesra. Tente duduk di kursi, dan papa berdiri di sebelahnya. Tak ada sentuhan sama sekali. Tapi wajah mereka terlihat begitu bahagia. Kedekatan itu seakan mewakili sentuhan tangan, gandengan, atau pelukan. Dari situ aku mengerti bahwa Tante Evi tak jauh berbeda dari diriku. Dia adalah orang yang dapat membuat hati papa menjadi tenang bila berada di dekatnya.

Siang itu ku bersandar di tembok kamar Tante Evi. Sudah tiga bulan lamanya aku mengenalnya. Tante Evi adalah sosok yang mampu menerangi jalanku ke depan. Juga mampu memberi setitik cahaya pada masa laluku. Terang saja jika papa merasa tenang berada di sampingnya.

Kulihat Tante Evi shalat sedemikian khusyuknya. Seakan ia mencurahkan seluruh jiwa dan raganya pada Sang Khalid. Ketenangannya mampu membawa dirinya seakan berada di hadapan Allah. Tak pernah kulihat orang shalat setenang ini. Bahkan ustadz sekalipun. Hubunganku dengan Tante Evi masih menjadi misteri. Tak ada yang tahu selain kami berdua, dan tentu saja Pak Karso.

Tiba-tiba kudengar Tante Evi mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya. Agaknya sudah waktunya adik kecilku melihat dunia beserta isinya. Aku langsung membawa Tante Evi ke rumah sakit. Kugunakan uang tabunganku untuk mengurusi administrasinya. Aku duduk cemas di depan ruang bersalin.

Pintu kamar terbuka, seseorang dengan jas putih menyuruhku masuk untuk menemui Tante Evi. Di ruangan itu hanya ada aku dan Tante Evi yang terbaring lemah. Kulihat wajahnya begitu pucat. Namun ia masih bisa menunjukkan senyum lembutnya kepadaku. Aku teringat kembali ucapan dokter itu. Kami mengalami sedikit masalah. Kondisi Ibu Evi sangat lemah. Dan kemungkinan besar kami hanya dapat menyelamatkan salah satunya. Ibu Evi bersikeras ingin menyelamatkan bayi yang ada dalam kandungannya.

“Tante, Tante harus kuat ya. Janji sama Lana, Tante harus kuat.” Kataku dengan mata berkaca-kaca sambil membelainya.

“Kelana, Tante titip anak Tante ya. Rawat dia seperti kamu merawat adikmu sendiri.” Kata Tante Evi lemah. Air mataku mulai mengalir dengan derasnya. Kugenggam tangan Tante Evi yang lemah dan menatapnya dengan lembut.

“Iya Tante, Lana janji akan merawatnya baik-baik. Tapi Tante harus kuat.”

“Lana, Tante senang sekali karena sempat mengenalmu. Tante rindu sekali dengan papamu.”

“Maaf, pasien harus segera ditangani.” Dokter itu menyela. Aku segera keluar setelah sebelumnya mengecup dahi Tante Evi.

Di luar aku langsung menangis tersedu-sedu. Cukup lama, hingga akhirnya aku bisa menenangkan diriku. Aku mulai menata hatiku. Kini aku siap dengan apapun yang terjadi nanti. Pintu kamar kembali terbuka. Seketika aku mencium bau harum dari dalam ruangan itu. Aku masuk, mendekati tubuh Tante Evi yang telah tertutup kain putih. Kubuka kain itu, kemudian kukecup kembali dahi Tante Evi. Tante, aku berjanji akan menjaganya, untuk Tante. Selamat jalan Tante. Lalu aku segera menelpon mama agar datang. Dengan wajah yang begitu panik mama menghampiriku.

“Lana, ada apa? Siapa yang sakit? Kamu tidak apa-apa kan ?” Aku tersenyum geli melihat mama yang begitu panik.

“Sini ma, aku mau kasih liat sesuatu ke mama.” Kutarik tangan mama.

“Liat tu ma.” Kataku sambil menunjuk bayi mungil yang ada di sebuah kotak inkubator.

“Eh, bayi siapa itu? Ya ampun, dia, dia mirip sekali dengan Lana kecil. Siapa dia Lana?”

“Dia adik Lana ma. Nanti akan Lana ceritakan semuanya. Semua kenangan tersembunyi yang telah terjadi.”

Aku tersenyum bahagia melihat bayi kecil yang sedang tertidur pulas itu. Mama seakan melihat Lana kecil ketika memandangnya. Dan mulai saat itu, muncul sebuah keinginan di hatiku….Aku ingin shalat.

---* The End*---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar